top of page

SEKSISME: SEBUAH AWAL KETIMPANGAN GENDER?

  • Writer: Fathny Rezany Zeyin
    Fathny Rezany Zeyin
  • Jun 13, 2022
  • 4 min read

Updated: Jun 22, 2022

Jika dinormalisasi, paham ini akan bertransformasi menjadi aksi. Masalah seksisme ini bukan hanya terjadi dan berkembang pada laki-laki saja. Biasanya perempuan menganggap bahwa hal tersebut hanya bentuk pujian, perlindungan, dan kepedulian.


Sumber: unsplash


Seksisme berhubungan dengan kepercayaan masyarakat bahwa ada kodrat perempuan dan laki-laki yang fundamental. Setiap manusia dilahirkan sama dengan hak yang sama, baik gender laki-laki ataupun perempuan.


“Senyum, dong. Biar cantik!” Rasanya seperti hal yang biasa saja. Hal yang memang harus dilakukan. Dengan menggunakan dasar bahwa senyum adalah ibadah atau senyum itu indah.

Namun, pada kenyataannya perempuan acap kali mendapatkan perlakuan diskriminasi gender. Salah satu diskriminasi tersebut berupa seksisme yang banyak terjadi di kehidupan sehari-hari kita baik di Indonesia, bahkan di belahan dunia lainnya.


Seksisme dikategorikan menjadi dua jenis. Pertama, hostile sexism—untuk menjaga dominasi laki-laki. Kemudian, diekspresikan melalui cara yang lebih ekstrem, seperti harassment dan kekerasan.


Kedua, benevolent sexism—perilaku seksis yang lebih condong kepada perilaku yang kesannya dianggap sebagai hal yang positif, tapi pada kenyataanya sama-sama perlakuan seksisme yang berbahaya.


Benevolent sexisme ini cenderung manipulatif karena laki-laki seakan-akan tugasnya memang melindungi perempuan. Perilaku ingin menjaga perempuan dengan tujuan untuk memposisikan laki-laki di atas perempuan.


Orang yang memiliki pemahaman seksis biasanya melihat perempuan itu sebagai orang yang tidak kompeten. Mereka menganggap bahwa perempuan merupakan manusia kelas 2 dan hanya bisa berperan secara domestik saja.


Laki-laki yang seksis biasanya melihat dirinya sebagai manusia superior—memperlakukan perempuan dengan cara yang menggurui. Lalu, melahirkan kesan bahwa perempuan adalah orang yang membutuhkan bimbingan.


Jika dinormalisasi, paham ini akan bertransformasi menjadi aksi. Masalah seksisme ini bukan hanya terjadi dan berkembang pada laki-laki saja. Biasanya perempuan menganggap bahwa hal tersebut hanya bentuk pujian, perlindungan, dan kepedulian.


Saking lumrahnya fenomena tersebut dalam kehidupan sehari-hari, mayoritas perempuan merasa tidak bersalah atas sikap seksis yang ia terima dari laki-laki seksis di sekitarnya secara tidak sadar.


Praktik seksisme yang tidak disadari

“Senyum, dong. Biar cantik!” Rasanya seperti hal yang biasa saja. Hal yang memang harus dilakukan. Dengan menggunakan dasar bahwa senyum adalah ibadah atau indah. Suatu hal yang sederhana dan sering terjadi di sekitar.


Namun, hal tersebut merupakan salah satu sikap seksis karena terdapat kata “Biar cantik!”. Kalau kita ingin mendorong seseorang untuk tersenyum lebih baik cukup dengan “Senyum, dong” saja tidak perlu dengan alasan atau dasar apa pun.


Contoh lain adalah menstruasi begitu juga dengan pembalut. Bukan hanya laki-laki saja, bahkan perempuan yang diberi anugerah berupa menstruasi saja banyak yang masih menganggap bahwa menstruasi ini adalah hal yang menjijikan.


Menstruasi merupakan salah satu ciri kesuburan seorang perempuan. Selain menstruasi, pembalut merupakan barang yang dianggap memalukan bahkan oleh para perempuan sendiri saat berbelanja di toko.


Hal tersebut merupakan contoh seksis yang sering terjadi. Justru akan dianggap aneh jika ada seseorang yang bersikap biasa saja ketika membeli pembalut atau membicarakan tentang menstruasi.


Masih tentang menstruasi. Jika seorang perempuan sedang masa menstruasi, pasti ada saja yang mengeluarkan perkataan “Marah-marah mulu. PMS, ya?”. Pra-menstruasi atau sedang menstruasi, pasti merasakan nyeri perut.


Sebelum kita berkata seperti itu, sebaiknya kita cari tahu yang sebenarnya mengapa perempuan yang sedang menstruasi identik dengan emosi? Nyeri yang dirasakan saat menstruasi ini bermacam-macam.


Agar Anda yang belum mengalami menstruasi atau laki-laki yang tidak bisa menstruasi, bisa dibayangkan ketika kita sakit entah itu sakit kaki, sakit tangan, atau sakit kepala pasti seseorang akan bersikap lebih sensitif dari biasanya.


Hal ini sama dengan perempuan yang sedang menstruasi, sama saja dengan manusia-manusia lain yang sedang sakit. Lebih sensitif karena memang merasa kesakitan, bukan karena semata-mata sedang menstruasi.


Perempuan yang berkarier pun acapkali dianggap menelantarkan anak dan suaminya. Pada dasarnya kewajiban mengurus anak dan rumah tangga bukan hanya kewajiban perempuan. Kodrat perempuan hanya menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.



Sedangkan, laki-laki yang memiliki karier hebat tanpa perlu berperan dalam rumah tangga dianggap sebagai suami ideal atau suami idaman. Namun, perempuan yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dianggap sebagai pengangguran.


Segi penampilan turut dipermasalahkan. Contohnya, menilai perempuan yang memakai pakaian tertutup dan longgar dinilai baik serta sopan. Perempuan yang memakai pakaian terbuka dan ketat dianggap nakal.


Perempuan yang tidak memakai berdandan dianggap sebagai perempuan yang tidak bisa mengurus diri sendiri. Sedangkan, perempuan yang memakai berdandan dianggap sebagai perempuan yang suka menggoda laki-laki.


Kita bisa melawan seksisme dengan menerima dan meyakini dua hal. Pertama, laki-laki dan perempuan itu berbeda dan memiliki tugas dan peran masing-masing. Kedua, perbedaan tersebut tidak membuat ketimpangan.


Jika dua hal tersebut sudah terinternalisasi, maka praktik seksisme bisa kita lawan secara perlahan dan berangsur—baik di rumah, sekolah, lingkungan kerja, maupun di tengah-tengah masyarakat.


Untuk menghadapi teman atau orang asing dalam kehidupan sekitar yang melakukan atau memiliki kebiasaan seksis, bisa dilakukan dengan memahami keadaan orang tersebut. Mencari tahu dan mendengarkan alasan mereka dengan tidak menghakimi.


Dalam Islam, aksi seksis ini bisa termasuk ke dalam ketidakadilan, diskriminasi, dan tidak sesuai dengan prinsip Islam. Al-Qur’an menjelaskan bahwa kedudukan perempuan dalam Islam setara dengan laki-laki.


Perempuan diciptakan sebagai pasangan untuk laki-laki, bukan sebagai budak atau harta yang bisa diperjualbelikan. Pada zaman Jahiliah wanita selalu dipandang rendah, budak nafsu, bahkan tidak berarti sama sekali.


*Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Jurnalistik semester 4 Fakultas Dakwah dah Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


Editor : Rokhmi Noviatussani

Ilustrasi : unsplash


Comentários


bottom of page